Asal usul desa tamiajeng
Monday, October 29, 2018
BACA JUGA : Mеngеnаl dan Belajar Lingkungan Hіduр dі Desa Seloliman
Pada waktu itu Tumenggung Surodito berangkat dan di kawal oleh prajurit seperangan, prajuritnya mensangga diputuk di sebelah utara. Mbah Surodito bersama para sahabat-sahabatnya, Mbah Agung Pinayungan dan Mbah Gedhe Padusan, Beliau berdua adalah Panglima Perang dari Majapahit yang namanya Mbah Tunggul Wulung, Mbah Surodito lalu babat hutan di di daerah tamiajeng jadikan taman yang namanya Ayu Godah Selerai, saat itu taman ayu ditempati oleh sang selirnya Prabu Brawijaya yang namanya Dewi Supriani dengan pembantunya juga yang bernama Dewi Rini dan juga Dewi Supriati.
Kemudian dia mulai membabat hutan hutan itu dan akhirnya menjadikan desa tamiajeng atau nama pada waktu itu adalah Taman Ayu dan nama itu sebagai asal usul desa tamiajeng serta mejadi nama sangat sejarah. Tetapi takdir berkata lain beliau belum sempat menikmatinya justru Mbah Surodito meninggal atau pulang ke Rohmatullah. kemudian yang melanjutkan adalah Mbah Gedhe Padusan. Mbah Gedhe Padusan ini adalah sosok yang religius setelah berfikir-fikir lama akhirnya Mbah Gedhe kemudia membuat mushollah dibaratnya sumber mbeji atau yang sekarang di sbut dengan kali mbeji dan beliau juga mengajar masyarkat sekitar desa tamiajeng untuk ngaji dan membaca Al Qur'an.
BACA JUGA : 22 destinasi wisata Trawas Mojekerto yang paling unggulan hits, keren, murah dan menjadi favorit di zaman now
Santri-santri ramai berdatangan dan mulai untuk belajar mengaji. Di suatu hari yakni pas hari Jum’at Legi. Ketika para santri semua sudah berkumpul pun ia bicara kepada santri-santrinya “Cung iki ngunu dina malem Jum’at Legi ora usah njaluk piwulang ngaji, sing becik namung kataman Qur’an utawa diba’an amergo aku arep ngalor rono nggawe kebon cek biso ditanduri”.
BACA JUGA : Destinasi Wisata Duyung Trawas Hill (DTH) yang cocok cocok untuk liburan bersama keluarga
Dengan keahlian dan juga kukuatan yang dimiliki oleh mbah Gedhe di tengah malam Mbah Gedhe mengeluarkan karomahnya, beliau berada di tengah-tengah kebun yang ingin beliau kerjakan. Lantas yang bekerja pada malam itu adalah bukan oleh manusia biasa melainkan bangsa jin atau mahluk bertanduk yang di bernama meluku. Meluku sendiri adalah jenis heru atau banteng perkasa yang dari kencana seperti weluku, setelah pagi kebun itu akirnya sudah menjadi leleran yang siap untuk ditanami. Serta beliau sudah menyediakan bibit padi yang siap untuk untuk ditanam sudah terpocong-pocong, Mbah Gedhe paginya pun merasa bingung.
BACA JUGA : METODE PELATIHAN "Trawas Outbоund Prоvіdеr" TOP
Namun ia merasa bingung dan juga mulai berangan-angan lantas siapakah yang akan menanami sawah ini. lalu Mbah Gedhe ini membuat sayembara, “Hai wong Taman Ayu, sapa sing bisa tandur mulai ngalor sampek ngidul ora nyegek maka saya akan upah-upahi hadiah slendang cinde puspita”.
Kemudian berdatangan banyak orang untuk ingin mengikuti itu, tak kalah juga Dewi Rini dan juga Dewi Supriati yang mengikuti sayembara Mbah Gedhe tadi, seiring dengan berjalannya syambera itu, di tengah-tengah proses penanaman Dewi Rini ini merasa tidak kuat lantas keluar dari kedok sawah dan juga dilanjutkan oleh Dewi Supriati.
Tetapi alangkah malangnya sanga Dewi Supriati ketika ia nyampek di sebelah utara sang dewi pun langsung jatuh pingsan dan juga tidak kunjung siuman, dan akhirnya dia meninggal dunia. Mbah Gedhe juga berbicara lagi “Hai wong-wong iki jenazahe sang Dewi Supriati sarekna kene aku iki ngidu ora tak dilat maneh iki Slendang Cinde Puspita katutna ing Dewi Supriati. Tur mbesuk iki saksekna kedok iki jenengna kedok Cinde tur saksekna maneh iki Desa Taman Ayu tak ganti jeneng dadi desa Tamiajeng yang asal usul dari kata Taman menjadi Tami, dana kata Ayu menjadi Ajeng langsung setelah tanam dan asal usul dari nama itulah sampai sekarang menjadi desa tamiajeng.
Cekak cerita panen yang memotong padi ialah sang Dewi Rini yang masih hidup yang depan di potong di belakang menguning dan akhirnya tiap-tiap hari terus menerus memotong padi, padinya yang akan dibawa pulang dimasukkan lumbung, dan lumbung ini juga sudah terisi penuh.
Lantas sang Dewi Rini jenuh akhirnya padinya ini dibakar, alangkah terkejutnya sang dewi, padi yang dimasukkan ke lumbung tadinya ini ternyata ikut hangus menjadi arang, padi yang terbakar tadi asapnya membumbung tinggi dan juga latu-latu jatuh hingga sampai Desa sektira seperti dea Padusan pacet, asapnya pun memendung di atas.
Mbah Gedhe pun berbicara lagi “Hai wong-wong mbesuk yen taman ing nisore beluk sing memendung iku gawien jeneng dusun Kemendung.” Lantas Dewi Rini tidak pulang ke desa Tamiajeng, muksa sak ragane.
Desa Tamiajeng ini tadi jadinya pada tahun 1363. Di Utara Desa Tamiajeng ini ada putuk yang dibuat oleh para mesangrah prajurit Majapahit yang sering dibuat pertemuan Prajurit Majapahit waktu itu, mangkanya putuk ini disebut dengan Balai. Sehingga itu pun disebut Gunung Balai saat ini pun gunung balai di desa tamiajeng ini di jadikan parkiran sepeda motor untuk para pendaki gunung via jalur desa tamiajeng, dan disitu juga yang memimpin ialah Mbah Ageng Pinayungan Tunggal Wulung Panglima Perang dari Majapahit.
Beliau meninggal dimakamkan di putuk atau di gunung balai desa tamiajeng yang disebut dengan Mbah khi Agung Pinayungan. Dan juga disebelah utara lagi ada kedok yang sangat luas yang namanya gelanggangan, ini tempat prajurit untuk
Demikian singat cerita dari sejarah dan asal usul desa tamiajeng yang dapat kami sampaikan secara singkat, semoga cerita ini bisa nemambah wawasan anda khususnya untuk asal usul desa tamiajeng tentunya, next time kita akan informasikan sejarah dan asal usul desa desa lain seperti Desa Belik
Desa Duyung, Desa Jatijejer, Desa Kedungudi, Desa Kesiman, Desa Ketapanrame, Desa Penanggungan, Desa Seloliman, Desa Selotapak, Desa Sugeng, Desa Sukosari, Desa Tamiajeng, Desa Trawas dan juga desa2 sekitarnya, Cukup sekian dan trima kasih, NB: bila ada salah menyebut gelar atau jabatan kami mohoon maaf
Related Posts