Desa tamiajeng menjadi desa tertua di kecamatan trawas
Sunday, November 4, 2018
Dikisahkan Raja Majapahit telah mengutus seorang tumenggung beliau yang bernama Mbah Surodito ini untuk membuka hutan di lembah diantara dua gunung welirang dan Penanggungan. Menariknya lokasi yang dipilih ini sangat terbilang istimewa. Sebuah daratan yang relatif datar yang menghubungkan dua lereng Gunung. Lokasi dengan kondisi ynag seperti ini adalah satu-satunya yang ada diwilayah Kecamatan Trawas.
Tidak heran juga bila berada di Desa Tamiajeng hawanya lebih terasa hangat di banding dengan desa lainnya.
Mengapa wilayah ini yang ditunjuk dan juga dipilih menjadi sebuah perkampungan untuk tempat tinggal selir raja?
BACA JUGA : Desa Trawas, Asal usul Dan Sejarah Desa Trawas
Di utara Desa Tamiajeng ini terdapat sebuah bukit, masyarakat biasanya menyebut dengan nama Gunung Bale. Sejak di jaman kerajaan Kahuripan dengan rajanya yang terkenal sangat terkenal yakni Prabu Airlangga tempat ini adalah sudah menjadi lokasi pusdiklat nya prajurit Kahuripan. Nah, di era Majapahit tempat ini juga berubah fungsi menjadi tempat peristirahatan untuk para raja-raja Majapahit.
Di area sebelum masuk ke Gunung Bale ini ada sebuah putukan (lokasi agak tinggi) diberi nama Putuk samaran atau sebagian orang Tamiajeng bilang Putuk Semarang ini adalah tempat pos untuk pemeriksaan para tamu yang akan berkunjung ke Raja.
Seakan ini menjawab pertanyaan kenapa yang ada selama ini wilayah Trawas ini menjadi destinasi wisata yang sanga ramai dikunjungi banyak orang dan bahkan ada puluhan hotel dan ratusan pervilaan, di karena memang sejak jaman kerajaan zaman dahulu Trawas adalah sudah menjadi jujugan favorit.
Desa Tamiajeng ini termasuk pertama kali yang di buka hutannya untuk dijadikan perkampungan. Dan juga termasuk yang sangat tertua di banding dusun-dusun dan desa desa lain lain di kecamatan Trawas. Jangan di bandingkan dengan kawasan di petirtaan Jolotundo itu memang lebih dahulu ada tetapi bukan ini diperuntukkan bagi perkampungan. Dusun Seloliman, Biting yang mengcover kawasan Jolotundo ini terbentuk di jaman kerajaan Mataram pasca Majapahit runtuh.
Sepeninggal dari Mbah Surodito, perkembangan dusun Taman Ayu ini lalu dilanjutkan oleh seorang ulama yang bernama Ki Gede Padusan. Nama ini mungkin tidak asing lagi di telinga kita.. ya emang beliau ini juga yang babat alas untuk membangun sebuah desa di wilayah Kecamatan Pacet, sesuai dengan nama beliau desa itu lalu diberi nama Padusan di kecamatan pacet yang sekarang banyak wisatanya terutama kawasan air panas pacet mojokerto.
Jalur yang di gunakan Ki Gede Padusan ini adalah untuk menuju Taman Ayu melalui jalur kuno atau (Tamiajeng-kemloko-krapyak-padusan). Beliau juga membangun sebuah musholla di sekitar sumber Beji di desa tamiajeng waktu itu untuk mengajarkan ajaran agama Islam kepada masyarakat Taman Ayu dan sekitarnya.
Bangunan musholla Mbah Gede Padusan ini memang sudah tidak ada lagi tetapi batu2 andesit bekas bangunan nya ini masih tersisa di ada di sekitar sumber Beji ini.
Sumber beji ini boleh dibilang "little Jolotundo" karena banyak nya batuan andesit yang di susun mirip candi Jolotundo tapi memang kecil.
Sumber Beji ini tergolong sumber yang istimewa!! Keberadaan sumber beji desa tamiajeng ini yang berada di tengah perkampungan warga ini masih juga memiliki debit air yang masih tinggi sekalipun pada musim kemarau.
Padahal kalo dilihat dari kondisi riil diatas sumber Beji ini sudah sangat banyak bangunan-bangunan rumah warga. Berbeda dengan sumber yang di sekitarnya namanya sumber Dadap yang saat ini sudah kering dan juga tidak keluar air sumber lagi.
Bisa jadi sumber Beji ini juga termasuk sumber yang keramat karena tidak banyak sumber yang seperti ini yang berada di Kecamatan Trawas. Mungkin ini hampir mirip dengan sumber Macan di Desa Trawas. Yang Mempunyai nilai historis terbilang tua dan juga memiliki sejarah yg begitu mendalam bagi masyarakatnya.
Dan sumber Beji ini merupakan salah satu yang menjadi cikal bakal dari desa Tamiajeng.
Kiranya perlu banyak upaya untuk menjaga dan juga untuk melestarikan keberadaan sumber Beji dari pihak warga desa tamiajeng atau pun juga para pemrintah desa tamiajeng khususnya. Memang sudah di jaga. Tetapi hanya saja dari sisi estetika dan juga kemanfaatannya masih dibiarkan seadanya saja belum di rawat secara lebih baik lagi.
Itulah yang mendasari mengapa Mbah Gede Padusan ini mendirikan semacam padepokan di sekitaran sumber Beji. Di Karena air adalah sumber kehidupan. Dari sini beliau untuk mengajarkan ilmu agama sebagai dasar untuk menjalani kehidupan.
Mbah Gede Padusan ini juga memiliki kemampuan yang tidak biasa. Orang bilang beliau ini sakti. Suatu Ketika beliau ingin mengajarkan para warga cara bercocok tanam atau cara menananam tumbuhan yang baik, konon kabarnya beliau ini juga ahli dalam pertanian. Tanpa sepengetahuan satu orang pun, beliau telah mempersiapkan pembukaan lahan untuk pertanian di utara sumber Beji. Hanya dalam waktu dan tempo satu malam saja. Alat-alat pertanian yang digunakanseperti terbuat dari emas, dan binatang yangg membajak sawah adalah banteng ( heru kusuma ).
Pagi harinya, orang-orang ini baru mengetahui sudah terbentang dua bidang sawah dari utara ke selatan yang terbagi sisi timur dan barat. Tentu dengan takjub!! Dengan bahasa kekiniannya "surprise", gitu.. gue ga menyangka lahan dengan luasnya kurang lebih 2.5 Ha itu sudah siap tanam.
Saat orang ramai mulai berkumpul itu, Mbah Gede Padusan ini membuat pengumuman sayembara. Di khususkan bagi perempuan desa ( tamiajeng )karena hadiah ini yang bakal diterima adalah sebuah selendang ini yang diberi nama "Cinde". Apabila para warga dapat memenangkan lomba menanam padi ini dari selatan ke utara dilahan dan sisi timur yang kondisinya memang saat itu lebih panjang dari sisi barat jaraknya sekitar kurang lebih 600 m. Tanpa berhenti dari titik awal sampai finish.
Hanya ada dua perempuan yang berani mendaftar untuk mengikuti sayembara ini yang di gelar waktu itu. Mereka berdua ini adalah para dayang dari selir para raja Majapahit yang bernama Dewi Supriati dan Dewi Rini.
Peserta pertama yang menjajal untuk tantangan untuk cara menanam padi dengan membungkuk dan tanpa berdiri sampai batas akhir diujung utara adalah Dewi Rini. Sayangnya belum sempat tuntas Dewi Rini ini tidak sanggup untuk menyelesaikan sayembara. Alhasil belio gagal untuk mendapatkan hadiah selendang Cinde atau saat ini menjadi rondo kuning.
Masyarakat yang menonton ini berharap agar peserta selanjutnya dan sekaligus peserta terakhir ini dapat bisa memenangkan sayembara. Sorak Sorai dari penonton mengiringi langkah pertama dari Dewi Supriati menanam padi. Secara fisik kondisi Dewi Rini dan juga Dewi Supriati tidak jauh berbeda, berdua ini adalah pelayan yang tidak terbiasa untuk bercocok tanam di sawah. Bahkan ada yang meragukan kemampuan dari Dewi Supriati ini bakal bernasib sama dengan apa yang di alami Dewi Rini yang gagal finish.
Dengan tekad dan juga semangat yang kuat strategi Dewi Supriati ini memang berbeda dengan sebelumnya, menanam dengan sangat perlahan tapi pasti. Masyarakat desa tamiajeng terus menyemangati dengan tepuk tangan dan juga sesekali teriakan2 bermakna pasti bisa. Keringat dan juga peluh menetes dari wajah sang Dewi Supriati seakan tidak kuat lagi untuk melanjutkan perjuangan.
Tapi ini luar biasa tekad itu bisa mengalahkan kondisi fisiknya sampai menjelang titik akhir. Mungkin ini yang di sebut kekuatan alam semesta. Dan belio Dewi Supriati ini berhasil sampai masuk garis finish, namun menjadi akhir dari hidupnya. Ketika ia akan berdiri seketika itu juga langsung roboh.
Mbah Gede Padusan ini menilai Dewi Supriati yang memenangkan sayembara ini. Meski dengan pengorbanan yang sangat luar biasa. Dan juga di tempat jatuhnya ini sekaligus menjadi tempat peristirahatan terakhir belio. Sedangkan Selendang Cinde ini ikut di sertakan di dalam pemakaman. Sampai sekarang makam ini masih ada di sawah Cinde tempatnya di rondo kuning. Nama itu adalah sebagai penghormatan untuk mengenang perjuangan yang tanpa kenal menyerah sampai dari titik darah penghabisan. Dewi Supriati ini lebih dikenal dengan mbok Cinde.
Sawah yang sisi timur di sebut sawah Cinde, sedangkan yang di sisi barat di sebut orang2 desa tamiajeng menyebutnya dengan sawah Rondo kuning.
Entah semua ini terjadi kapan, nama dusun yang semula adalah Taman Ayu ini berganti Tamiajeng. Mbah Gede Padusan ini yang merubah nama itu.
Bisa jadi perubahan itu adalah setelah peristiwa sayembara yang di menangkan oleh sang Dewi Supriati, meski pada akhirnya ini menjadi pengorbanan terbesar dalam hidupnya. Tidak sempat untuk merasakan bangga sambil mengalungkan selendang Cinde ini yang sangat cantik itu, namun perjuangan yang tanpa batas menjadi pembelajarannya.
Nama Tamiajeng perpaduan dua suku kata. Tami dan Ajeng. Tami yang artinya perempuan; wanita; putri, sedangkan untuk Ajeng diartikan cantik. Jika ini di gabungkan menjadi "perempuan cantik". Mungkin Mbah Gede Padusan ini terinspirasi dari semangat tidak pernah mati dari sang Dewi Supriati. Jadi desa tamiajeng artinya adalah perempuan cantik.
Kecantikan ini bukan hanya dilihat dari fisik. Tapi tekat kuat untuk menggapai tujuan dan juga hebatnya itu keluar dari sosok perempuan. Inilah yang disebut dengan kecantikan sejati.
Hari berganti hari, Minggu pun berganti bulan dan juga terus berlalu, hingga waktu panen pun tiba. Karena sejak ada sayembara itu masyarakat ini bergotong royong untuk menyelesaikan tanam padi di dua petak sawah yang ada.
Mbah Gede Padusan ini mengutus seorang perempuan untuk memanen padi. Diketahui perempuan itu adalah berstatus janda (Jawa=Rondo) dan juga yang berkulit kuning langsat. Masyarakat ini lebih mengenal dan juga memanggil si janda ini dengan sebutan Mbok Rondo Kuning. Belum ada yang tahu siapa yang sebenarnya mbok Rondo Kuning ini. Ada juga yang bilang namanya dari Dewi Rini rekan sesama dayang Dewi Supriati. Ada juga orang yang berpendapat Dewi Sri Utami.
Pada saat memanen padi itu pun terjadi keanehan, padinya ini terus menguning meski ini berkali-kali di potong. Di panen dari bagian depan, dari bagian belakang seketika tetap menguning. Di potong dari bagian belakang, dan di depan ini siap panen lagi. Begitu juga seterusnya hal yang sangat aneh pada waktu itu.
Mungkin di karena kesal dan kecapekan mbok Rondo Kuning ini lantas membakar sawah padi yang menguning ini. Yang terjadi adalah malah bukan hanya padi di sawah saja yang terbakar, lumbung padi nya juga ikut terbakar. Sedangkan peralatan untuk pertanian yang terbuat dari emas ini tertelan bumi.
Asap yang membumbung tinggi diangkasa ini membentuk awan hitam yang terbawa angin ke arah barat laut. sehingga pada di suatu tempat awan hitam ini seakan berkumpul. Dan Mbah Gede Padusan ini pun berujar wilayah yang berada di bawah kumpulan awan hitam ini suatu saat nantinya agar di beri nama dengan nama desa Kemendung.
Kemendung adalah nama salah satu dusun yang ada di desa Penanggungan. Merupakan tetangga dari desa Tamiajeng. Lokasi Kemendung ini agak lebih masuk ke barat setelah dari dusun Sendang.
Konon kabarnya juga sebelum berubah nama menjadi Kemendung ini dahulunya bernama Nongko Putih. Begitu 'tawaduk'nya kepada seorang yang alim dan juga disegani sampai sekarang dusun ini tetap Kemendung.
Istimewanya adalah lumbung padi terbesar yang ada di wilayah kecamatan Trawas ini ada di wilayah desa Kemendung. Barangkali ini adalah Barakah yang terbesar dari sawah padi yang telah di bakar sehingga asapnya memilih dusun ini untuk sebagai lokasi terbaik bertanam padi.
Tamiajeng ini bisa jadi permukiman yang sangat tua di Kecamatan Trawas. Tidak heran juga bila peradaban yang ada di desa Tamiajeng ini menyebar ke dusun-dusun sekitarnya.
Sebut saja itu dusun Kemlagi dan desa Duyung, dua dusun ini adalah bertetangga persis dengan Tamiajeng. Berbatasan juga dengan sawah Rondo kuning lalu sawah Cinde. Bisa juga di bilang kekerabatannya yang begitu dekat.
Eyang Duyung atau juga di sebut Mbah Sumiran masih memiliki hubungan keluarga dengan Rondo Kuning. Kemudian Mbah Sarirejo ini yang masih kerabat dekat dengan Mbah Surodito di nikahkan dengan putri dari Mbah Truno Menggolo yakni yang bernama Truno Sari, sepasang suami istri ini adalah yang membabat atau menjadi sejarah asal usul dusun Kemlagi dan desa Kesiman.
Rasa kekeluargaan ini sampai sekarang masih sangat kental terlihat di dalam keseharian. Terwujud rasa kasih sayang antara dua warga dusun ini dan saling menjaga satu dengan yang lainnya.
Ini adalah bagian dari persebaran Islam selain juga metode dakwah langsung juga menggunakan membangun kekerabatan, cinta damai, pendekatan pernikahan, dan juga mengembangkan semangat rahmatan lil alamin.
Tamiajeng ini sangat populer dengan julukan bumi para Wali. di Karena banyak tokoh-tokoh yang berdakwah dan memberikan pengajaran nilai-nilai dari keislaman bagi masyarakat tanpa ada menghilangkan budaya yang ada. Secara teori ini namanya "akulturasi".
Nama-nama beberapa tokoh ini diantaranya yang sudah di sebut di atas adalah Mbah Gede Padusan, Mbah Surodito, kemudian Mbah Surgi dan juga Mbah Ki Agung Pinayungan.
dua nama terakhir ini adalah mungkin ada yang kaget!! Yang terdapat kesamaan nama dengan beberapa makam di tempat yang lainnya. Seperti makam Mbah Surgi ini tersebar di banyak tempat setidaknya di wilayah kabupaten Mojokerto saja ada tiga tempat di Mendeg di desa Ngoro ,Awang-awang Mojosari, dan juga Tamiajeng Trawas.
Belum yang ada di luar Mojokerto juga ada di Sukorejo, Kepulungan, Bugul, dan juga di Pecalukan semua di daerah Pasuruan.
Menurut versi sesepuh desa tamiajeng, Mbah Surgi ini mendapat tugas dari Mbah Syeh Jumadil Kubro ini untuk melakukan perjalanan dan ritual kearah timur di mulai dari desa Troloyo sampai di pemberhentian pertama di desa Awang-awang dengan ditandai batu, lanjut perjalanan beliau sampai di Mendeg ngoro dan memberi tanda batu juga.
Saat berada di desa Mendeg itu udeng Mbah Surgi ini terhempas terbawa angin dan jatuh kembali lagi ke Awang-awang.
Kemudian beliau melanjut lagi sampai di desa Kepulungan dan juga di desa Bugul semua ini di tandai dengan batu. Nah, saat berada di Bugul itu perintahnya adalah tidak lagi untuk pergi ketimur tapi kembali ke barat lagi via jalur Sukorejo, berhenti tetap di tandai dengan batu termasuk ketika berada di desa pecalukan Prigen juga sama di tandai batu. Lanjut ke arah barat dan sampailah beliau di Tamiajeng. Mbah Surgi ini wafat tahun 1319 M dan juga di makamkan di pemakaman desa Tamiajeng yang tertata apik yang kalo di lihat seperti taman-taman yang sangat indah.
Mbah Ki Agung Pinayungan ini termasuk salah satu wali qoryah (kawasan) wilayah Trawas. Beliau ini menurut dari beberapa sumber adalah utusan dari Kerajaan Mataram. Sebenarnya tugas awalnya beliau adalah memberantas gerombolan para kampak.
Siapakah para gerombolan Kampak??
Apakah kelompok ini yang meresahkan masyarakat??
Di mata Belanda, kelompok yang ini dianggap sebagai penjahat, perampok dan juga pengganggu ketentraman. Belanda tidak mampu untuk membasmi sendiri karena pola kerjanya ini invisible (tak kasat mata) dan juga selalu berbaur secara komunal dengan para masyarakat umum. Sehingga meminta bantuan dari kerajaan Mataram yang belum sempat menyadari posisi Belanda yang ingin menguasai dan juga menjajah bangsa ini.
Taktik yang digunakan ialah sangat licik yang mengadu domba antar sesama bangsanya sendiri. Namun ini yang sangat disadari oleh Mbah Ki Agung Pinayungan atau dikenal dengan nama Mbah Tunggul Wulung.
Mbah Tunggul Wulung ini bukannya membasmi para Kampak malah melakukan gerakan dengan dakwah menyebarkan Islam yang mayoritas pada waktu itu belum bertuhan yang Esa. Upaya Mbah Tunggul Wulung ini sangat efektif. Islam menyebar mulai dari Utara trawas di desa seloliman sampai ke selatan di wilayah Tamiajeng dan sekitarnya.
Tidak heran juga bila makam Mbah Ki Agung Pinayungan ini diketahui ada di dua tempat. Yaitu di makam dusun Biting desa Seloliman yang di yakini termasuk leluhur dari dusun mereka. Dan juga di makam Geneng Tamiajeng yang lokasinya ini berdekatan dengan pos pendakian puncak Penanggungan. Atau saat ini lokasinya berada di atas parkiran motor dari para pendaki gunung penanggungan.
Perjuangan para wali ini membumikan Islam di wilayah trawas ini sangat patut untuk di kenang sepanjang masa sebagai inspirasi untuk generasi jaman now dan untuk meneruskan perjuangan dari para pendahulu. Ayo Semangat gaez !!!
Belajar dari sebuah dusun yang unik dan juga strategis menyimpan nilai historis yang sangat tua dan panjang. Tamiajeng ini menjadi titik pusat peradaban dan nilai-nilai keislaman yang sangat berkembang dari masa ke masa.
Ketika Belanda saat pertama kali memasuki wilayah Trawas sekitar di akhir abad 19. Tidak mudah bagi kolonial ini untuk begitu saja menguasai wilayah ini. Strategi Belanda ini tidak hanya 'Devide et Impera' tapi juga dengan cara pendekatan agama dilakukan agar bisa melancarkan operasi perluasan yang pada awalnya untuk kepentingan perdagangan dan menjadi penjajahan.
Jadi ingat pada mata pelajaran sejarah, apa yang membuat Belanda ini sulit masuk Aceh. Karena begitu solidnya para rakyat Aceh membendung ekspansi kompeni ini, dan senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai dan norma nroma agama yang sangat diyakini bisa menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat untuk mengusir penjajah dari bumi rencong ini.
Tapi apa yang terjadi ketika Belanda ini menugaskan snouck Hurgronje seorang budayawan orientalis yang sangat fasih berbahasa Arab bahkan dia menguasai ilmu keislaman dan dijadikan strategi untuk menghancurkan perlawanan rakyat Aceh dn untuk mengakhiri kisah panjang Perang Aceh yang berlangsung selama kurang lebih 40 tahun. Mengadu domba yang dari dalam. Belanda ini dapat menguasai Aceh.
Nah balik lagi kita ke Tamiajeng;
Pendekatan Belanda ini membuat senang dan juga bangga para warga. Terutama masyarakat Tamiajeng yang sangat amat kuat religiulitasnya. Selalu mengedepankan nilai-nilai ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari. Dan membuat Belanda "terkesan" memberikan dukungan untuk meyakinkan terhadap pembangunan sebuah Masjid yang pada waktu itu memang masih belum ada satu pun di wilayah Trawas ini.
Dipilihlah satu lokasi yang sangat strategis dan mudah di akses dari segala penjuru. Yang berdiri dengan megah sebuah bangunan Masjid pertama kali ada di Trawas. Masjid itu Diberi nama dengan Masjid Besar Baitus Sholihin. Dan saat ini menjadi kebanggaan masyarakat Tamiajeng.
Tidak ada seorang pun yang tahu pasti dan kapan masjid ini dibangun, hanya berdasar informasi dari mendiang kakek buyut Kepala Desa Tamiajeng waktu ini, pada tahun 1903 masjid ini sudah ada. Dan di renovasi terakhir di tahun 2014 yang lalu.
Tamiajeng ini menjadi kawasan santri yang sangat diperhitungkan oleh kompeni. Begitu berhati-hatinya orang orang Belanda dalam bertindak dan sehingga tetap mempertimbangkan kerawanan dan atas ketersinggungan kaum santri ini.
Beberapa bukti seakan menunjukkan Tamiajeng ini dikelilingi beberapa kepentingan Belanda. Di selatan Tamiajeng ada semacam tangsi atau (barak) untuk tentara Belanda. Disisi Timur tepatnya di desa Sumbersari terdapat juga lapangan Belanda. Meski pun ada juga orang Belanda yang hidup dan juga tinggal membaur dengan orang pribumi. Tepatnya itu di RW 03 dekat sumber Jeding, orang orang di Tamiajeng memanggil Martha. Bisa juga menjadi berperan mirip snouck Hurgronje.
Bila Aceh adalah serambi Mekah-nya Indonesia, maka Tamiajeng adalah serambi Mekah ala Trawas. Semoga begitu.
Related Posts